Kamis, 14 Januari 2010

Perjalanan 1:


Cerita ini hanya fiktif belaka yang 100% lahir dari isapan jempol saya. Kalaulah ada nama atau kejadian yang sama...itu hanya kenetulan semata :)

Satu

Namaku Sarwa. Hidupku indah,menurut takaran yang kutetapkan sendiri. Bukan karena aku seorang putri raja atau karena aku anak seorang pengusaha terkenal. Kurasa aku bukan orang yang kesepian karena aku punya teman yang lumayan jumlahnya. Oya ini tahun terakhirku di SMA. Dua bulan lagi aku lulus dari sebuah SMA dengan reputasi yang cukup terpandang di kotaku. Aku mulai mencari universitas yang menurutku ideal. Tetanggaku menyarankan agar aku masuk sebuah universitas swasta tapi aku ragu-ragu karenanya. Dimata Edward Wong,temanku yang suka ca cis cus tentang segala hal, universitas swasta yang tadi disebutkan tetanggaku terlalu introvert. Mereka memang mengasah mahasiswanya menjadi manusia-manusia dengan otak yang cemerlang. Tapi yang menyebalkan adalah universitas itu terlalu membuka peluang pada lembaga-lembaga asing yang memberi jaminan pendidikan pada mahasiswa-mahasiswa berprestasi dengan syarat ketika lulus nanti mahasiswa tersebut harus bekerja di negara lain. Parahnya mahasiswa yang dengan mulus meraih jaminan itu dengan bangga menkoar-koarkan keberhasilannya. Padahal dia adalah dara daging bangsa yang mengabdi untuk negara lain. Dia tidak sadar kalau negara telah kehilangan dia walau dia hanya seorang.

Aku mengenal si kacamata tebal itu,sadewo. Dia teman sekolahku. Reputasi yang dia telah peroleh selama ini membuat dia di kenal seantero sekolah. Pemenang olimpiade Fisika se-Tana Air. Seandainya aku berdiri tegak di depan seorang guru bersama Sadewo mungkin guru-guru akan bertanya,
“Ah...memang kalau diperhatikan Sarwa tidak bisa dibandingkan dengan Sadewo.”
Tapi sudalah,aku memang sudah terbiasa diremehkan oleh guru-guru. Aku memang tidak pintar di sekolah. Aku tidak suka belajar Matematik,Fisika, atau Kimia. Walau pelajaran yang serumpun dengan ini menarik ketika aku duduk di sekolah dasar seiring dengan konflik sosial yang terjadi di masyarakat menyita perhatianku. Seperti mengalami transeksual aku mengabaikan pelajaran-pelajaran yang sarat dengan hitung-hitungan. Aku lebih suka dengan masalah sosial. Itu menyita perhatianku lalu kuputuskan untuk melebur di dalamnya.

Sepekan lalu sebuah televisi swasta menyiarkan moment di mana presiden tana air menyerahkan piala pada juara Olympiade nasional. Dengan khidmat Sadewo menerima piala itu lalu Pak Presiden mengusap-usap kepalanya. Sadewo tersenyum dengan bangga. Sejanak kemudian Pak Presiden dengan penuh rasa dan asah dan setnegah berbisik lewat mic mengucapkan tiga kata,
“Inilah mutiara bangsa...”
Seperti sanjungan dari kepala sekolah untuk Sadewo malam ini. Malam ini adalah malam perpisahan setelah kami menjalani ujian terkhir di SMA. Istilah kerennya ,”Prom Nite.”
Saat itu aku dan Edward ditugaskan sebagai penerima tamu di gerbang sekolah. Gaun yang kupakai malam itu adalah gaun yang tidak bisa dikategorikan jelek. Ibuku membelinya di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu aku sedang melakukan kegiatan sosial di jalanan bersama temanku dan ibuku sedang berada di pusat perbelanjaan. Kata Ibu saat itu dia bertemu dengan Kania dan ibunya. Kania teman kelasku. Dia dan ibunya bertengkar di toko yang sama tempat ibuku membeli gaun. Ibunya ingin agar Kania dibelikan gaun di tempat itu saja tapi Kania menolaknya dengan tegas. Dia menyebutkan sebuah Butik yang terletak di seberang pusat perbelanjaan. Kania ingin ibunya membeli gaun di situ. Aku tahu butik itu adalah butik elit. Sehelai gaun bisa mencapai ratusan ribu rupiah bahkan jutaan. Kania terus berontak agar dia dan ibunya ke sana dan meninggalkan tempat itu sekarang juga. Dia menarik lengan ibunya. Dalam kondisi terjepit ibu Kania menyempatkan diri pamit pada ibuku. Saat mereka memunggungi Ibu, pandangan kasihan beliau mengikuti ibu Kania.

“Anak Ibu yang cantik,Ibu bangga padamu. Kamu tidak merepotkan sepeti Kania. Bahkan kamu tidak bilang kamu tidak suka pada gaun ini...”
“Ah,Ibu. Itu tidak penting!” tegasku.
“Aku pergi dulu,Bu!”
Kulihat sosok Kania datang. Dia duduk di sampingku karena aku dan dia mempunyai tugas yang sama. Sekilas dia memandang gaun yang aku pakai. Begitu juga sebaliknya. Aku memandang gaun mahal yang dia pakai tapi itu sama sekali tidak merubah dirinya. Dia tetap Kania yang ambisinya untuk menjadi idola tetap menyala-nyala akhirnya menjadi bahan cibiran dan gunjingan. Dia adalah korban kerlap-kerlip dan mimpi duniawi yang tidak pernah usai juga sangat memuakkan.
“Sar, kamu tahu? Sadewo akan segera meninggalkan Tana Air. Dia mendapat bea siswa dari luar negeri. Biaya hidupnya di jamin. Bahkan dia akan menempati sebuah apartemen di negara tujuannya itu. Semua biaya pendidikannya ditanggung oleh pemerintah di sana. Dia mendapat uang saku setiap bulan. Bahkan lagi setelah lulus dia tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan. Pekerjaan untuk orang seperti Sadewo sudah disipkan oleh pemerintah di sana,di negara tujuan Sadewo. Ya ampun....aku saja bekali-kali bermimpi bisa liburan atau sekedar menginjakkan kaki ke sana. Tapi aku tidak pernah mendapat kesempatan. Sedangkan Sadewo dalam sekejap mata bisa ke sana,bahkan menetap ke sana...”
Aku menoleh ke arah Kania dan berkata,
“Kania,seandainya seribu Sadewo yang ada di Tana Air tidak di culik seperti Sadewo kira-kira apa yang akan terjadi pada negara?” Edwar menyelah.
Kania mengerinyutkan dahi lalu melotot ke arah Edward.
“Diculik? Maksudmu apa?”
Edward melongos. Sepertinya mengurungkan niat niat untuk menjelaskannya lebih jau. Aku bisa mengerti ucapan Edward. Diskusi elit ini memang tidak cocok dibicarakan dengan Kania.
“Hei...maksud kamu apa mengatakan kalau Sadewo diculik? Kau sudah gila ya?”
Edward diam saja karena aku tidak ingin menghabiskan waktunya dengan Kania. Dia tidak paham maksud Edward dan kelihatannya dia malas menjelaskannya. Toh kalau akhirnya dia mengerti belum tentu dia mengakui kebenaran teori Edward,kuduga begitu. Paling dia menentangnya habis-habisan. Aku sendiri tidak mau menghabiskan banyak energi untuk orang seperti Kania. Kania terus mengatai Edward gila. Tapi Edwar masa bodoh, tidak perduli.
Inilah moment yang harus aku ceritakan malam ini. Acara pertama di gelar. Setelah sambutan dari ketua panitia kepala sekolah kami,
“Pada malam yang indah ini ada satu hal yang membuat saya bangga pada angkatan dua puluh. Banyak prestasi yang telah ditoreh selama kalian ada di sini. Mulai dari bidang seni,olahraga,bahkan ilmu pengetahuan. Terbukti pada tahun ini kita berhasil merebut piala Olympiade Fisika se-Tana Air. Hal itu membuat sekolah kita dikenaaaaaaal se-antero Tana Air. Maka pada malam ini rasanya tidak lengkap kalau saya tidak menyebut nama Sadewo mutiara bangsa kita. Sadewo,karena kepintarannya telah mendapat apa yang mungkin siswa lain idam-idamkan yaitu bea siswa luar negeri. Tidak hanya itu,pemerintah di negara tujuan telah memberi jaminan hidup pada Sadewo.....bla...bla...bla....”

Bagaimanapun bangganya kepala sekolah akan Sadewo itu tidak akan merubah rasa miris yang ada di hatiku dan juga Edward. Sadewo diculik!

Hari-hari berlalu. Teman-temanku sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Terutama urusan universitas yang akan mereka masuki. Tentu saja Sadewo telah hilang dari pandangan. Dia bak di telan bumi. Entah kapan aku bertemu lagi dengannya. Tapi aku tidak berharap banyak untuk itu. bertemu dengan orang jenius nan dungu. Yang mengejutkan bahwa Edward juga meninggalkan Tanah Air. Di emailnya dia memberi kabar kalau dia diterima di fakultas Hukum Utrecht,Belanda.
“Percaya Sarwa,pemerintah Belanda tidak akan menahanku kalau lulus nanti. Aku akan pulang dan melakukan apa yang baik untuk Tanah Air.” Aku mengangguk-angguk lalu mengucapkan satu kata.
“Bagus....”

Dan sekarang aku sedang menyusuri koridor kampusku sambil membawah berkas-berkas yang diperlukan. Dua minggu sebelumnya aku telah mengikuti tes di universitas negeri ternama di kota ini. Pesan elektronik yang masuk ke inbox ku memberi kabar yang membuat hatiku berbunga-bunga. Aku diterima di sebuah fakultas yang aku incar selama ini. Sepertinya keinginan untuk melebur dalam masalah-masalah sosial sudah kugenggam erat-erat. Aku akan belajar sungguh-sungguh. Aku akan membuat perbedaan. Seperti petikan puisi yang ada di dinding kamarku dan kubaca setiap hari,
“tumbuh mekarlah kebahagiaan.
Jayalah tindakan...
Maka agunglah keberhasilan”

Aku pikir saat ini aku telah berada di baris ke dua. Ketika aku membuka hati lapang kepada hal-hal yang aku sukai dan berkonsentrasi di situ aku berbahagia. Ketika aku bertindak kejayaan menghampiriku. Inilah yang membuat senyumku semakin melebar dan mataku semakin berbinar. Bagi beribu pasang mata kejadian ini sungguh terlalu biasa tapi buatku sebaliknya. Oh hidup betapa aku mencintai tujuan-tujuanmu yang di rancang bahkan sebelum kau ada.

Seorang petugas memriksa berkas-berkasku sekilas melakukan kontak mata denganku. Mungkin binar mataku terlalu sampai ia berkata,
“Kamu kelihatan bahagia sekali hari ini,Sarwa Jemima....”
Aku mengangguk dengan mantap sambil berkata,
“siapa yang tidak bahagia kalau dia diterima di universitas terpandang ini,Pak?”
Dia tersenyum geli mendengar penuturanku.
“Kenapa tidak memilih kedokteran atau tehnik?” tanyanya sambil memberi centang di berkas-berkasku kemudian menutupnya lalu menyerahkannya padaku.
“Mereka memang orang-orang hebat Pak,tapi saya terpanggil ke ilmu sosial. Saya menyukainya.”
Bapak tadi tersenyum sambil mengangguk-angguk lalu menepuk pundakku.
“Sukses ya?”
Aku mengulum senyumku lalu meninggalkan ruagan itu dengan langkah kaki yang ringan. Akhirnya hari itupun tiba. Daerah khtulistiwa yang memiliki dua musim itu sedang memasuki musim di mana jalanan selalu basah dan berlumpur. Tapi itu tidak menjadi penghalang bagiku. Bagiku musim hujan sekaligus semi karena bunga-bunga dengan leher lemah tengah bermekaran di jalan-jalan. Rumput selalu lembab sehingga kakiku selalu digerogoti biji-biji kecil yang kadang membuat kakiku gatal. Bulan ini adalah bulan ketika tanah di daerah tropis menyengat namun mendamaikan. Senja ini adalah hari ketika hari yang kumaksud akan dimulai besok. Aku menghabiskan waktuku untuk menikmati bau tanah dan tumbuhan di sebuah taman yang terpelihara cukup baik di kotaku. Hujan baru saja selesai. Bau tanah mulai naik. Aku mengenakan sandal jepit,celana pendek dan kaos oblong. Kata ibuku menikmati apa yang disediakan alam adalah cara terbaik untuk memujin-Nya. Walau seumur hidupmu kau tidak pernah bisa menyimpulkan Dia. Namun siapapun Dia,dialah gudang segala kebaikan dan kedamaian.
(bersambung...)

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates