Sabtu, 27 Februari 2016

Menggenggam Matahari

Cerita ini hanya fiktif belaka. Apalagi penulis dan teman-temannya belum pernah ke Belitong. Namun ada beberapa kejadian dalam cerita ini yang akan membuat teman-teman penulis mengalami De Ja Vu berat. Karena sesungguhnya cerita ini adalah hasil sinergi dari sejarah dan isapan jempol _ salam risuma lolok
Dan setelah kami merasa tidak terlalu lelah Nat berpaling padaku. Kami belum pernah bertemu antara tahun 2013 dan 2015 tapi bukan berarti dia tidak tahu siatuasiku. Aku menceritakan sedikit dan kurasa dia mencari tahu kesana-kemari secara detail kehidupanku. “Bagaimana dengan…” pertanyaannya menggantung di langit-langit kamar. Nat bingung apa yang harus ditanyakan padaku. Tentang tempat baruku? Tentang keluargaku? Tentang hobiku dan mimpiku menerbitkan setidaknya satu buku sebelum aku berumur 30 tahun? Atau tentang seseorang yang dulu kupuja dan telah menghilang tanpa jejak dan belum sempat kukenalkan padanya? Aku merasakan kebingungan yang dialami Nat. “Aku masih capek,” kataku sambil beringsut dari tempat tidur lalu memandang keluar jendela. Dengan mengatakan aku capek Nat akan mengerti kalau aku tidak siap ditanya sesuatu yang mengundang rasa ibah. Aku berbalik ke arahnya memperlihatkan keceriaan yang kubuat-buat. “Tapi sunset Belitong adalah segalanya. Sore ini juga,kan?” “Yes, Darlaa. Bangunkan sleepy head sekarang juga sebelum dia melukis kastil di bantalnya!” Aku keluar kamar lalu menggebuk pintu kamar Issy dengan keras. Dia membuka pintu dengan mimik dongkol. Yah, aku sadar seharusnya tak sekeras itu aku menggebuk pintunya. Pertanyaan Nat yang belum kelar itu membuatku emosi. Situasiku berantakan dua tahun belakangan ini dan aku sudah membungkusnya rapi-rapi. Tak untuk dikorek-korek lagi. Suatu saat aku akan membakar hangus tanpa jejak. Issy mengucek mata memperlihatkan muka lugunya. Dia benar-benar mirip Quentine dalam film Paper Town makanya aku memanggilnya Quen. Pria berusia 26 tahun yang baru sekali berpacaran dan akan memasuki tahun ketiga masa vakum, tanpa seorang wanita. Selain didiagnosis mengalami masa puber yang sangat telat Quentine juga sangat mencintai pekerjaannya sebagai layouter di sebuah tabloid remaja. Dengar-dengar pacarnya yang dulu terlalu posesif dan cukup membuatnya trauma dengan mahluk yang bernama wanita. “Ayolah…siapa tahu kita bisa menemukan Margo di tanah Belitong ini!” bujukku. Dia mencibir. Margo adalah cewek yang dipuja Quentine dalam Paper Town. Quentine palsu bersandar di pintu. Dugaanku dia masih ngantuk dan tak ingin pelesiran sore ini. “Ya ampun! Bocah ini masih jet laq!” Seru Nat dari balik punggungku. Aku sama sekali tidak kepikiran kalau dia jet laq. Quentine memandangku seolah berkata betapa bodoh dan tidak pekahnya aku. Muka Nat sudah terpoles sempurna di setiap sendi wajahnya padahal aku baru meninggalkannya sejenak. “Berkemaslah, akan kuurus Si Quen. Quen? Kamu bakalan baik-baik saja. Pokoknya kita akan melihat sunset dari balik bebatuan, okay?” Katanya sangat yakin. Suaranya saja cukup untuk menyemburkan energi positif dan akan membuat Si Quentine baikan. Minyak angin atau pil yang akan diberikannya nanti hanya pelengkap saja. Aku tidak terbiasa dengan bahan rayon yang begitu tipis dan terkulai di badanku. Aku takut kalau bahan ini tiba-tiba robek dan semuanya akan jadi kacau. Namun Nat meyakinkanku kalau semuanya akan baik-baik saja. “Berprasangka baiklah pada gaun ini ini!” pesannya. Masalahnya gaun ini terlalu pendek buatku dan apa jadinya kalau dia melayang tertiup angin pantai. Aku mengigit bibir bawahku saat Nat masuk kamar sambil membawa kabar kalau Quentine sudah siap. Secepat itukah? Nat bisa membaca kekuatiranku. Bahwa aku dan gaun ini tidak akan pernah memiliki hubungan yang baik. Sebelum aku mengeluh Nat memberi usul. “Oke! Ganti dengan jampsuit setelah itu kita pergi.” Tapi sayangnya jampsuit tosca itu masih berbahan rayon. Kami mencari bidang datar diatas bebatuanmenunggu sunset datang. Samar kudengar Quentine dan Nat membicarakan museum Andrea Hirata. “Kita harus membawah Lea ke sana.” Suara Nat terdengar jelas saat lagu “Roar” Katty Perri selesai. Aku melepas headset lalu tersenyum penuh terima kasih. “Kamu dengar yah?” tanya Nat. aku mengangguk. Nat mengangkat bahu, agak resah dengan sikap diamku. Jika bisa dibahasakan dengan mimik buat apa mengeluarkan kata-kata. Itulah karakterku. Sepasang bule melintas di pesisir sambil berciuman mesra. Hatiku serasa tercabik-cabik. Adegan itu secara tidak langsung menggiringku pada satu masa yang indah, dulunya. Si gila urusan Nat memandangku dengan tatapan ibah yang aku benci. Ya Tuhan, mengapa Engkau menakdirkanku bersahabat dengan orang yang terlalu pintar dalam segala hal termasuk dalam hal membaca pikiran? Dia memasang sunglasses meraih keranjang piknik dan meminta Quentine memotretnya dengan kamera DSLR. “Sayang, kamu tidak punya inisiatif untuk berfoto denganku? Belum tentu tahun depan kita bisa berkumpul lagi.” Aku merangkak ke sampingnya lalu berpose dengan manis. Hasilnya mengherankan. Aku dan Nat tampak sama. Tarikan senyum dan binar matanya. Tak dapat dibedakan mana yang tertutup dan mana yang bawel. Sambil mengunyah roti bakar Nat bercerita kalau dia punya musuh bebuyutan di kantor. Karirnya menanjak dan membuat musuh bebuyutannya semakin iri. Quentine tertawa lirih,“Dari zaman SMA aku tahu kamu tidak suka dikalahkan, Nat.” Nat kelihatan tersanjung dan jumawah. Berbeda denganku yang kikuk saat dipuji Nat malah menjadikan pujian sebagai makanan jiwanya. Lalu dia bercerita tentang pacarnya si penyanyi café. Wanita karir, si koleris sejati pacaran dengan penyanyi café? Hampir-hampir tidak masuk akal. “Musuh bebuyutanku itu selalu menjadikannya bahan cibiran. Katanya aku tak cocoklah dengan dia, katanya dia hanya memanfaatkan uangku saja. Masih mendinglah aku punya pacar. Daripada dia? Duda paling bulukpun tak sudih meliriknya…” Bahasanya sungguh hiperbolis dan ironis. “Nat. Disini ada Lea. Kamu tidak menjaga perasaannya?” Quentine palsu terkikik. Aku memang tak punya pacar tapi ucapan Quentine sama sekali tidak melukaiku. Aku meninju lengannya sambil berkata, “Memangnya kamu punya seseorang?” “Tidak. Hanya Nat dan dengan pacar brokolinya.” Quentine tersenyum jahil pada Nat. “Waw. Apa cat rambut si penyanyi café berwarna hijau?” ejekku. Nat menggerutu. “Kalian sama saja dengan Mak Lampir musuhh bebuyutanku itu. Lalu kalian bagaimana?” Quentine berdehem menjadi nomor urut kedua yang ingin membagi ceritanya. Kurasa dia tahu aku ingin menjadi yang terakhir dari sesi ini. Nat melirik Horizon khawatir kalau matahari sudah membenam setengah. “Well. We all over 25…dan rasa-rasanya aku sudah mencapai pencapaian terbaikku.” “Apa kau juga punya saingan seperti Nat?” “Aku tidak pernah merasa punya saingan. Hanya saja aku sering dianggap penyaing. Masa bodohlah. Yang penting aku menekuni dan mencintai pekerjaanku. Fokusku bukan ke pencapaian karir sih. Lebih ke kepuasan batin karena bekerja dengan tuntas dan melakukan yang bisa kulakukan. Mengerahkan semua daya kreatif yang aku punya.” “Waw! Lalu pencapaian terbaikmu apa Quen?” “Bonus dari semuanya yah tahun ini aku sudah punya rumah dan kendaraan. Sederhana sih. Bukan BMW atau rumah bergaya mediteran. Yang penting aku bisalah menyenangkan diriku sendiri.” Demi Tuhan aku iri pada Quentine. Aku sedikit lebih tua darinya namun aku belum memiliki apa-apa yang bisa kubanggakan. Ini semua salahku. Aku terlalu manja. Aku terlalu bergantung pada orang-orang di sekitarku dengan harapan suatu saat ada seseorang yang akan menghabiskan sisa umurnya denganku dan membahagiakanku. Aku lengah…sungguh. “Berkencanlah dengan seorang gadis. Sering-sering mengajak dia menginap di rumahmu agar adik kecilmu berfungsih dengan maksimal!” “Dia selalu dan akan selalu berfungsih maksimal, Nat!” Jawab Quentine. Aku terbahak mendengar mereka. “Kiat apa yang kamu lakukan untuk menjaga fungsihnya?” tanyaku. Mereka saling memberi selamat untuk merayakan dewasanya Lea. Aku bukannya tidak mengerti apa-apa pada hal-hal semacam ini karena aku membaca Serat Centini, hanya saja selama ini aku sok suci secara ektrim. “Dan kita akan mendengarkan cerita Lea. Apa pencapaian tersebesarmu, Darl?” “Aku?” aku bingung. “Pen-ca-pai-an?” aku mengeja kata berimbuhan itu perlahan. “Pencapaian terbesarku selama ini adalah….” aku bangkit untuk mendramatsir suasana dan mengarahkan tinju ke langit Belitong, memandang laut yang luas dengan derai-derainya. “Adalah berhasil pulih dari cadel errrrrrrrrrrrrrrrrrr, kan? Kan?” Keduanya menggeleng tak habis pikir. “Tidak lucu!” “Kamu pikir kami belum cukup penasaran?” Aku menghembuskan napas panjang lalu berkata sebaiknya kami beranjak dari batu ini karena matahari akan tenggelam. Sebentar lagi. Tepian spot yang tepat untuk mengambil gambar. “Tidak!” kata Nat. Mataku memanas. “Kurasa kalian tahu kalau ceritaku tak akan sebagus cerita kalian. Kenapa kalian bersikeras aku menceritakan semuanya ke kalian?” Mereka termenung. Lalu dengan hati-hati Nat berkata, “Baiklah. Tapi pikirkan jika suatu saat tak ada siapapun yang menanyakan dirimu, Lea. Sedih rasanya kalau kamu harus curhat ke psikiater dan membayar mahal.” “Nat!” Quentine bernada protes. Nat mengatupkan bibirnya. Dengan lembut dan sangat baik Quenitine memintaku duduk. “Apapun yang terjadi aku dan Nat tetap akan menjadi fans setiamu. Kami membicarakan apapun yang kamu tulis di kompasiana dan blogmu. Semua artikelmu keren. Aku merasa mereka tak pantas memintamu meniti dari bawah untuk menjadi seorang editor. Dalam hal literasi kamu lebih baik dari mereka yang berpengalaman.” Bahuku terguncang. Sialan! Quentine berhasil membuatku menangis. Quentine dan Nat tahu penolakan itu. Penolakan setelah melalui serangkaian tes. “Mereka hanya merasa terancam karena kehadiranmu. Percayalah dengan berjuang sendiri kamu bisa menerbitkan bukumu.” Nat memelukku dan mengulangi hal yang senada yang diucapkan Quentine. Cuma caranya lebih hiperbolis. “Aku adalah penggemar fanatikmu.” “Dan….” Quentine menyambung,”jangan pernah menyambangi penerbit amatiran itu lagi. Percayalah kamu bisa bekerjasama dengan penerbit sekelas Aurora! Bukan sebagai editor tapi penulis. Percayalah…” “Aku percaya Quentine! Ya ampun, selama ini aku pikir kalian tidak tahu apa-apa. Ternyata kalian…” suaraku tersendat, “memperhatikanku dari jauh…” “Kami kan fans fanatikmu, Darl.” Nat mengulangi. “Dan ya sudah…tanpa harus bercerita panjang lebar kalian sudah bisa mereka- reka situasiku kan?” Quentine mulai memotret sunset. “Yah!” jawabnya sambil membidik gambar. “Lea, kesini. Agak menyamping…letakkan telapak kirimu di bawah, dan…yeph yang kanan diatas. Siap yah satu…dua…tiga!” Mereka melihat hasilnya sambil tersenyum. Nat menedekat sambil membawa kamera, “Lihat deh….kamu menggenggam matahari!”

Selasa, 12 Januari 2016

Melihat ratingnya yang bagus dan komentar yang nyaris tanpa kritik di Goodreads maka tanpa pikir panjang saya membeli titik nol di awal Januari 2016. Memoar perjalanan Agustinus Wibowo ini membuat saya menggeleng-gelengkan kepala. Seorang Mahasiswa jurusan universitas ternama di Negeri Tiongkok yang ketika lulus mendapat tawaran S2 ke Amerika dan justru menampik tawaran itu dan lebih memilih pelesiran ke tempat-tempat tak biasa. Medan konflik....zona merah....dan terlarang. Orangtua mana yang tak kecewa menerima kenyataan bahwa Agustinus kembali ke Surabaya dengan tidak membawa apa-apa selain cerita perjalanannya selama sepuluh tahun yang dia bacakan di samping ranjang ibunya yang meregang nyawa karena digerogoti kanker. Seolah menjadi dongeng pengantar tidur panjang Sang Ibu. Adik mana yang tak kesal melihat Si Abang membiarkan dirinya sendirian mengurus kedua orangtuanya yang sakit dan rumah yang disita bank untuk melunasi biaya pengobatan. Menurut Si Adik, Si Abang sudah bersenang-senang selama sepuluh tahun. Namun menurut si Abang menjadi pengembara sangatlah pelik. Dia harus berhadapan dengan kejamnya alam, polisi hingga taliban, dan melebur menjadi relawan gempa khasmir. Dia juga sering hidup dengan mie instan selama berhari-hari. Menyamarkan nama dan ras demi sebuah penerimaan. Diculik dan mengalami pelecehan seksual. Apa yang menyenangkan dengan semua itu? Namun satu hal....dia telah puas dengan pengalamannya itu. Menjadi Backpacker bukan hanya sekedar hobby bagi Agustinus namun pilihan hidup. Dia tak punya pekerjaan, investasi, atau asuransi. Sepuluh tahun hidupnya sungguh-sungguh bergantung pada nasib baik. Di jalanan Agustinus dan temannya Nona Lam Li kenyang akan pengalaman langka yang unik yang jarang dialami oleh orang lain. Dari daratan Tiongkok menuju Nepal, Himalaya, Tibet, Everest, Shangrila, Khatmandu, India, Pakistan, Afghanistan, Kirghistan dan negara-negara berakhiran Tan lainnya. Agustinus berdara Tionghoa. Namun identitas Indonesianya membuatnya diterima dimana-mana di Asia Tengah. Agustinus mengalami harmoni dengan para penduduk negara -Tan yang justru dihindari sehingga kadang-kadang dia merasa lebih disambut di negara-negara berkahiran Tan itu dibanding negara asalnya. Saat merambah bagian terkumuh India cerita Agustinus membuat saya bergidik. Singkatnya India tak seelok Bollywood dengan sosok-sosok perlentenya yang doyan tinggal di bangunan mewah ala aristokrat. Dan Nepal yang sarat dengan kata suci itu ternyata dipenuhi biksu-biksu mata duitan yang anti dengan pendatang asing. Namun Kashmir dan kesedihan yang mengguncangnya membuat saya jatuh cinta. Mengenai harmoni dalam duka serta kebersamaan yang paling paripurna dalam ketiadaan. Afghanistan ternyata menyisahkan harmoni seperti cerita Khaled Hosaini tentang Kabhul sebelum diguncang Soviet tahun 70-an. Agustinus dan pengembaraan ala Marcopolonya telah menyuguhkan cerita dari dalam labirin. Bukan cerita yang kita lihat dari layar kaca atau yang kita pandang dari ketinggian sekian ribu kaki. Ini cerita nyata dari musafir yang telah melewati labirin dan memakan asam-pahit yang ditemuinya di jalan. Sungguh sebuah memoar perjalanan yang menegangkan sekaligus melipur lara. Saat membacanya entah mengapa saya sering melirik dan mengusap titik hitam yang ada di jempol kaki saya. Waktu kecil Mama saya sering bilang jika besar nanti kamu akan pergi jauh dan melanglang buana kemana-mana. Semoga saja. Namun saya merasa terkalahkan. Agustinus lebih muda tiga tahun dari saya saat melakukan perjalanan pertamanya. Akankah saya punya waktu lagi untuk menjalani hal-hal yang demikian. Tak hanya waktu tapi juga keberanian. Tapi setidaknya petualangan-petualangan dalam buku ini menggugah saya untuk bertualang. Walau nantinya tak sespektakuler prestasi Agustinus Wibowo.

;;

Template by:
Free Blog Templates