Jumat, 29 Januari 2010

Bredel buku=pelecehan demokrasi


Berpendapat adalah hak asasi manusia. Tak satu manusia pun (jika dia cukup menghargai orang lain) yang bisa melarang orang lain untuk berpendapat. Orde lama yang terkesan semena-mena dan mengekang orang untuk berpendapat telah berguling sebelas tahun lebih. Namun mengapa pemerintahan sekarang masih saja menerapkan “sebagian” cara-cara orde lama yang membatasi ruang gerak itu?

Setahun terakhir kejaksaan agung melarang beredarnya beberapa buku yang dianggap merugikan pihak lain. Tentu saja hal tersebut menuai protes dari berbagai kalangan termasuk saya secara pribadi. Kita sendiri yang memberi cap pada negara kita sebagai negara demokrasi yang identik dengan kemerdekaan individu untuk menyampaikan pendapatnya namun kita sendiri (baca; aparat pemerintah) yang melecehkan cap tersebut. Mengapa sih kita tidak menghormati “kesepakatan” yang datangnya dari kita dan untuk kita juga. Kalau kita saja tidak bisa menghormati kesepakatan tersebut bagaimana dunia menghargai dan menghormati Bangsa Indonesia? Atau kita tetap membiarkan negara menjadi objek perhatian dunia karena kesemerawutan ini? Jawabannya kembali pada kita.

Okey daripda pembicaraan ini melebar kemana-mana saya ingin kembali fokus pada persoalan pembredelan beberapa buku. Saya ingin menguraikan beberapa buku yang di bredel atau dilarang peredarannya oleh kejaksaan agung.

1. Lekra Tak Membakar Buku.


Buku ini membahas tentang “Lekra” lembaga kebudayaan rakyat yang berdiri sekitar tahun 50-an. Pandangan umum mengatakan bahwa Lekra adalah organisasi yang hubungannya sangat “Intim” dengan PKI. Lekra mendapat kecaman dari masyarakat umum bahwa mereka bekrja sama dengan PKI untuk mengadu domba masyarakat Jawa dengan mengatasnamakan budaya.

Namun setelah penulis “Lekra Tidak Membakar Buku”, Muhidin M Dahlan melakukan riset sejarah pers ke perpustakaan nasional di salemba beliau tidak menemukan alasan mengapa LEKRA mendapat kecaman tersebut. Dari “Harian Rakyat” antara tahun 1950-1965 yang memuat berita tentang “LEKRA” tidk ditemui alasan-alasan mengapa “Lekra” disebut memiliki hubungan yang sangat intim dengan PKI.

Penulis berusaha memaparkan hal tersebut dalam bukunya. Beliau mengupas habis posisi LEKRA dan PKI pada tahun-tahun tersebut,namun tiba-tiba buku tersebut dibredel. Tanpa alasan yang jelas toko-toko buku mengembalikannya ke penulis (kebetulan penulis menerbitkan sendiri)

Tentu hal ini sangat mengherankan bagi kita semua. How could it be? Apa mungkin ada wacana yang “direkayasa” ketika Prabu Soeharto menjadi presiden?
Hanya Allah yang tahu.

2. Dosa Politik SBY – JK


Buku ini ditulis oleh seorang dosen fisip UI (maaf saya lupa nama Beliau). Dari judulnya kita pasti sudah menebak apa isinya. Pasti isinya tentang kepincangan-kepincangan yang terjadi selama perintahan SBY-JK. Salah satu yang menarik untuk saya bahas di sini adalah masalah korban lumpur lapindo. Meski ditutup-tutupi tapi saya dan anda semua pasti memiliki hati nurani. Menurut anda peristiwa lumpur lapindo terjadi karena kesalahan explorasi atau karena bencana alam. Hati kecil saya berkata,itu murni karena kesalahan explorasi. Dengan demikian pihak lapindo harus bertanggungjawab.
Namun mengapa wacana mengatakan bahwa itu adalah bencana alam sehingga ganti ruginya harus berasal dari APBN?
Total ganti rugi untuk rakyat sebesar 1,5 triliun tidak terpenuhi sampai sekarang,...padahal mereka telah menuntut selama tiga tahun...bandingkan dengan kasus century,ketika bank itu bermaslah maka saat itu juga dia ditalang dengan dana 6,7 triliun. Gila kan???.....lau siapa yang mau bertanggungjawab? Sby? Abdul Rizal Bakrie selaku pemilik saham terbesar di lapindo? Entahlah. Dimata saya ini adalah kejahatan korporasi yang bisa diaduhkan ke mahkama internasional.

3. Dalih Pembunhan Massal,G 30 September, Kudeta Soeharto.

Perhatikan baik-baik. Di belakang September tidak ada embel-embel PKI. Embel-embel itu konon ada setelah pemerintah orde baru melakukan berbagai macam rekayasa wacana. Gerakan 30 September memang ada,namun entah siapa yang menggerakkannya (belum tentu PKI). Jhon Rosse seorang pelajar S3 dari Kanada sekaligus pengarang buku tersebut memaparkan bahwa tidak ada data yang valid mengenai asal muasal PKI dan bagaimana mereka ternentuk,serta gerakan-gerakan yang mereka lakukan juga samar-samar. Pembunuhan massal hanya dijadikan dalih untuk menenggelamkan Soekarno sehingga Soehato terapung.
Buku ini mendapat penghargaan internasional. Setelah disunting ke dalam Bahasa Indonesia (Oleh Hilman Parid) buku tersebut ternyata bernasib malang,”ditarik dari peredaran”

Menurut Jhon Rosse hal tersebut telah melanggar konstitusi Indonesia yang konon ingin mencerdaskan kehidupan bangsa

1 komentar:

risuma lolok mengatakan...

###

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates