Jumat, 15 Mei 2009

Kamis 14 Mei 2009

Atas pendanaan dosen yg baik dan murah hati aku terbang ke surabaya lanjut ke Jogja. Aku tidak bicara banyak tentang karya tulis yang bertennger manis dalam hard disk ku beberapa minggu ini tapi itu menyita pikiranku. Seandainya publikasi hanya sampai pada orang yang aku inginkan bukan pada orang yang terluka karena pikiranku maka tanpa pikir panjang aku akan koar-koar. Tapi dari awal manusia diciptakan hakekat publikasi yang bersifat bombastis tidak seperti itu. Misalnya aku ingin membagi-bagi zakat pada orang-orang yang ada di kolong jembatan,tapi seorang gembel bernama si kusta tidak aku inginkan kedatangannya karena dia punya penyakit yang bisa membahayakanku. Aku mau semua tetangga si kusta datang kecuali si kusta karena lain dan satu hal. Tidak mungkin kabar pembagian zakat tidak sampai pada si kusta. Dan tidak menutup kemungkinan dia tahu kalau aku tidak ingin dia datang. Bukankah itu sangat menusuk hati? Sementara di sisi lain aku tidak ingin hati si kusta terluka.....

Benar kata Buncit,tidak ada keputusan yang benar....yang ada adalah keputusan yang harus diambil. Nciiiit cit,kamu emang cerdas.
Aku dilema dengan karya tulis ini. Biarlah menjadi koleksi pribadiku,dan terpublikasi setelah aku mati. Agar tak ada yang disakiti dan tak ada yang dituntut ini itu kecuali pemakian terhadap sesuatu yang tertinggal yaitu nama.

Seminggu di Jogja...ada hal2 penting yang harus kuceritakan. Aku menyebalkan selama beberapa hari. Tapi biasalah orang2 memang sering konsentrasi pada kesalahan2 kecil,dan tidak melihat hal yang baik yang sudah berlalu....aku juga tidak ada jalan untuk memperdebatkan itu....kadang2 aku juga begitu,...debat adalah hal yang menyebalkan. Pada dasarnya orang berusaha agar ideology nya menjadi yang paling benar dan diakui bahkan oleh lawan debatnya....sehingga dia memperdebatkan itu pada penganut ideology yang kadar keegoisannya sama keras bahkan lebih keras lagi...nah apakah yang didapat dari suatu perdebatan selain sakit kepala yang luar biasa. Debat adalah suatu yang absurd....sia-sia. Diskusi lebih mulia dari pada debat,karena di sini kita lebih bersikap dinamis. Saling mengisi satu sama lain,mengetahui alasan2 orang mengapa dia menganut pemikiran yang sangat bertentangan dengan pemikiran kita...ini lebih membuat pemikiran kita berkembang kadang2....hmmmmm....betapa tidak menyesalnya aku dilahirkan untuk menyakikan hal-hal indah dari sebuah perbedaan.

Kembali ke Cerita dari Jogja. Aku mendapat kesempatan untuk menghabiskan hariku dengan buncit. Kata ibuku habiskanlah waktu dengan orang2 yang memberikan hal-hal baik dan berharga bukan pada hal2 yang absurd....makanya aku tertarik untuk ngekor terus pada buncit. Cerita terus mengalir. Dari A-Z.....dari Roma sampai Greenland....dari Sosilogy sampai kapitalis.....dari Aguste Comte sampai Fajar DJ....dari Sabang sampai Merauke....dari buyut sampai ponakan....di sela-sela itulah muncul hal lain dengan cara yang tidak kami pahami....tidak berbahasa namun bisa kami rasakan . Aku tidak bisa menarik kesimpulan untuk menamai rasa itu. Begitu juga dengan dia....
Dalam hal bacaan aku dan Buncit mingkin masih satu selera. Hari berikutnya aku dan dia hunting buku. Belanjaanku lumayan banyak. Bahkan menyita setengah dr jatah bulananku. Resikonya ya mungkin makanan sehari-hariku selama bulan ini akan lebih hina dari nasi kucing. Hikz....
Fajar Dj kegirangan waktu aku ngasih dia dua buku. Satu buku tentang teori sosial dan sosiology profetik. Padahal salah satu dari buku itu adalah karangan kakak kandungnya sendiri. Aku heran. Kenapa sang kakak tidak memberi draf langsung pada adiknya daripada harus bersusah-susah memesan buku itu ke pulau seberang. Banyak buku-buku hebat yang aku beli di sana tapi itulah sisi jelekku. Ada lima buku yang aku rahasiakan keberadaannya karena dia langkah. Takut teori luar biasa yang ada di buku itu menjadi lumrah karena terealisasi pada orang-orang di sekitarku. Biarlah aku yang mengilhaminya baik-baik. Aku bejanji demi ideology ku yang tak bernama bahwa lima buku itu akan kujadikan pusakaku...hehehehehe....

Tidak banyak yang berubah dari Jogja. Aku nekat berjalan sendirian di alun-alun utara. Saat itulah di sebuah sudut seorang pedagan buku bekas menjajakan dagangannya. Aku memperhatikan satu buku yang agung dalam kelusuannya. Subahanallah.....luar biasanya buku ini....buku yang tidak aku dapat di gramedia,toko buku online,pustaka kita,dan lain2....justru ada di sudut yang hampir tidak menyita perhatian.....

Ada satu buku yang akan kuberikan pada dosen yang baik dan murah hati itu. mudah2an dia suka....

senin,29 april 2009

Kadang-kadang aku tiba-tiba merasa sedih walau puluhan orang bolak-balik di hadapanku untuk kepentingan mereka masing-masing. Aku tidak tahu kenapa tapi ada yang mengganjal di bawah perutku merambat ke tengah dadaku,tenggorokan,dan mataku. Tidak ada hal menyedihkan terjadi hari ini bahkan ada seribu satu alasan untuk tertawa dengan teman-temanku. Bahkan hari ini diisi dengan banyak sekali kegiatan. Bahkan lagi ada yang tersisa buat besok. Saint Amas mau membicarakan kegiatan yang kami rintis untuk anak-anak jalanan. Sekedar mengajar baca tulis. Aku dengan senang hati bergabung di sini.
Sorenya aku beli Genus dan catatan harian Anne Frank yang lebih lengkap lagi. Rasanya sepanjang kuliah aku lebih banyak mencurahkan perhatianku di buku-buku yang aku beli seenak udelku dibanding materi kuliah. Tapi semuanya kan berjalan dengan baik,bahkan kegiatan lain masih bisa menyisip ke waktuku. Aku rasa tidak ada salahnya. Tapi setiap kali Mis Goretti dan Miss Theresia masuk ke kamarku mereka langsung mengerinyutkan dahi sambil memungut sesuatu yang berserakan di lantai.
“Kapan rapinya...” omel mereka. tapi aku gak pernah pusing dengan hal-hal itu. oya tadi aku ketemu salah satu petinggi jurnalis kampus yang sudah pensiun dari jabatannya. Penampilan orang2 jurnal memang selalu ketinggalan zaman. Aku? Mungkin bisa disebut semi-nya hehehe. Dia pernah membawakan materi di sebuah workshop penulisan dan pemaprannya bagus sekali. Aku belajar banyak dari situ. Percakapan awal dimulai dengan menanyakan orang-orang yang aku kenal. Dia mananyakan Mr.Khomei,Mr. Med, dan Mr. Chyrus,segelintir orang yang aktif di jurnal tingkat fakultas tapi dikenal di tingkat universitas bahkan di luar universitas. Aku heran mengapa dia tidak menanyakan Arkelaus yang sering bla...blu...ble...bli...itu. “Aku gak kenal tuh..”. Aku hampir saja terbahak. Buru2 aku mengingatkan diriku. Jangan sampai kejadian yang telah menimpah Arkelaus menimpahku juga. Jadi begini,saat pertama kali kamu bertemu Arkelaus kamu akan termakan pesonanya. Tapi banyak hal yang harus menjadi peringatan agar kita tidak menirunya dan hal itu ada pada Arkelaus. Begini,Arkelaus adalah mahasiswa yang sudah tidak tahan lagi tinggal di kampus. Tapi dia selalu berpura-pura kalau sebenarnya dia betah tinggal di kampus. Dia sering membicarakan tulisan-tulisannya,cerpen,puisi,essay,karya ilmiah,artikel,dan lain-lain. Katanya cewk-cewek sering klepak-klepek baca puisinya dan karya ilmiahnya sering masuk hitungan. Tidak jelas masuk hitungan mana. Arkelaus lebih sering mengkritik dengan kata-kata pedas dari pada memberi penjelasan tentang sebuah kajian jurnalistik. Dugaanku dia tidak tahu banyak. Aku sering menertawakan orang gara-gara kesalahan kosa katanya. Begitu juga Arkelaus. Dia bilang rekonsiliasi=referundum. Kesalahan fatal untuk status seorang petinggi. Dosen-dosen bisa menagis mendengarnyaTapi aku hanya diam dan merenung,sebaiknya kalau aku belum tahu banyak aku diam saja atau kalau meragukan kebenaran sebelum mengatakan kalimatku harus didahului kata,”Kalau tidak salah.”
Di sisi lain Arkelaus sebenarnya lucu. tapi satu yang mencengangkan,ternyata dia tidak populer dibanding nama-nama diatas yang berpenampilan apa adanya.

Dua hari ini aku memikirkan sebuah alur novel yang rencananya akan kutulis tahun ini juga. Tapi rencanaku selalu gagal. Entah kenapa. Novel Ali gagal! Novel Sarwa Jemima gagal. Novel Metamorfosis juga gagal. Padahal mereka bilang bagus,tapi belum tentu Jodi Picoul,Soe Monk Kid atau Andrea Hirata bilang begitu. Aku tidak suka dengan novel percintaan seperti karangan Andrei Aksana yang penampilannya amit-amit itu. berlebihan...gak usah jauh-jauh Andrea Hirata yang gak banyak cincong aja bisa melejit dibanding belaiu. Satu lagi yang aku tidak suka. Kelas dua SMA saat aku week end di Jogja aku sempat ke Workshopnya Andrei Aksana. Di situ dia menjelaskan proses menulis novel serta tips-tips mencari suasana yang nyaman untuk menulis. 50% bahasa Indonesia 50% bahasa Inggris itupun disebutkan bergantian. Hadirin ada yang mengoceh karena gaya Andrei Aksana yang terkesan dibuat-buat. Pada akhir workshop Andrei Aksana membagikan bukunya yang berjudul “Be A Writer,Be A Celebrity!”. Aku pikir semua isinya berbahasa Inggris tapi ternyata tidak. Hanya judul bab-babnya saja yang berbahasa Ingris. Misalnya, Hits Wonder,Be Famous,Start with A reason,dan lain2. tidak ada salahnya mempelajari Bahasa Inggris,tapi jangan dicampur aduk dengan bahasa kita dunk. Aaaaarhhhhhhh....kenapa sih pemerkosaan bahasa justru dilakukan oleh seorang novelist. Ini yang harus kita kritisi. Mungkin kita sudah malu jadi Orang Indonesia sampai-sampai kita malu pada bahsa kita sendiri. Padahal kalau kita fanatik pada bahasa Indonesia,aku pikir itu akan dihargai oleh bangsa lain. Bangsa memang sudah sakit tapi jangan dibikin sakit lagi.

;;

Template by:
Free Blog Templates