Minggu, 31 Januari 2010

Demo 100 Hari SBY-Bodiono


Wah...wah wah...semakin hari aku semakin bangga saja menjadi orang Indonesia. Rasa-rasanya kepribadian kita sebagai bangsa yang berbudi pekerti baik mulai terbentuk lagi. Terbukti dengan demo seartus hari pemerintahan SBY-Budiono yang berlangsung aman dan damai.

Tidak ada lagi bentrok antara pengunjuk rasa dan polisi. Polisi semakin menghargai kebebasan berpendapat, pengunjuk rasa semakin patuh pada tata tertib,mereka mulai sadar bahwa pengrusakan pada fasilitas umum sangatlah tidak baik dan merugikan orang banyak. (kan hitung-hitung kita ngemat uang negara. Kan kalo dirusakin lagi ganti lagi)

Dan yang paling menyenangkan adalah dengan berlangsungnya aksi yang begitu damai ini kita tidak melepas identitas kita sebagai negara yang deeeeemooookraaaasi!!
Well, demokrasi memang sarat dengan kebebasan tapi bukan berarti demokrasi tidak memiliki teori alias demokrasi sebenarnya memiliki batasan. Bagaimana teorinya? Okay,demonstarsi memank sah2 saja...tapi kalau sampai merusak fasilitas umum itu kejahatan namanya.

Yang kedua adalah adanya “disconect” antara urusan politik dan ekonomi. Yapzzz...demo seratus hari SBY-Budiono berkaitan dengan politik. Apakah ini mempengaruhi kegiatan ekonomi? SAMA SEKALI TIDAK. Buktinya? Pada hari rabu nilai tukar rupiah naik dari 9450 menjadi 9350. inverstor yang sbelumnya diperkirakan akan menahan diri untuk bertransaksi justru melakukan transaksi. Indeks harga saham gabungan naek 55 poin dan menembus angka 2.619....wah....wah...wah...
Memang seh kasus century adalah bencana dasyat yang mengguncan-guncangkan batin,tapi toh itu sudah terjadi. Waktu tidak bisa diputar. Kita sudah cukup mengorbankan,tenaga,pikiran,dll untuk mendengarkan wacana-wacana yang berlangsung selama berjam-jam namun ujung-ujungnya “menggantung”. Saudara-saudara!!! Kita harus bangkit dari keterpurukan ini!!! Jangan hanya menuntut!! (toh mereka gak sanggup menuhin tuntutan kita) Mari kembangkan kreativitas untuk memproduksi karya-karya yang bernilai!! Jangan matikan kreativitas anda!! Teruslah berkarya dan berkarya....Ingatlah saudara-saudara,bahwa hidup membutuhkan kekreativan unruk memperthankan hidup.

Terakhir saya secara pribadi berharap agar sewaktu-waktu presiden dan wakil presiden memberi tanggapan yang bijak pada suara hati kita selaku rakyat Indonesia. Kalau kita menyatakan tidak puas atas kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Bodiono maka Pak SBY seyogianya menjelaskan. (bukan membela diri loh ya) Karena keterbukaan antara rakyat dan “Bapak”nya sangatlah perlu. Pemerintahan 100 hari adalah landasan kuat pemerintahan lima tahun kedepan. Sekian dari saya. Wassalam ^^

Jumat, 29 Januari 2010

Bredel buku=pelecehan demokrasi


Berpendapat adalah hak asasi manusia. Tak satu manusia pun (jika dia cukup menghargai orang lain) yang bisa melarang orang lain untuk berpendapat. Orde lama yang terkesan semena-mena dan mengekang orang untuk berpendapat telah berguling sebelas tahun lebih. Namun mengapa pemerintahan sekarang masih saja menerapkan “sebagian” cara-cara orde lama yang membatasi ruang gerak itu?

Setahun terakhir kejaksaan agung melarang beredarnya beberapa buku yang dianggap merugikan pihak lain. Tentu saja hal tersebut menuai protes dari berbagai kalangan termasuk saya secara pribadi. Kita sendiri yang memberi cap pada negara kita sebagai negara demokrasi yang identik dengan kemerdekaan individu untuk menyampaikan pendapatnya namun kita sendiri (baca; aparat pemerintah) yang melecehkan cap tersebut. Mengapa sih kita tidak menghormati “kesepakatan” yang datangnya dari kita dan untuk kita juga. Kalau kita saja tidak bisa menghormati kesepakatan tersebut bagaimana dunia menghargai dan menghormati Bangsa Indonesia? Atau kita tetap membiarkan negara menjadi objek perhatian dunia karena kesemerawutan ini? Jawabannya kembali pada kita.

Okey daripda pembicaraan ini melebar kemana-mana saya ingin kembali fokus pada persoalan pembredelan beberapa buku. Saya ingin menguraikan beberapa buku yang di bredel atau dilarang peredarannya oleh kejaksaan agung.

1. Lekra Tak Membakar Buku.


Buku ini membahas tentang “Lekra” lembaga kebudayaan rakyat yang berdiri sekitar tahun 50-an. Pandangan umum mengatakan bahwa Lekra adalah organisasi yang hubungannya sangat “Intim” dengan PKI. Lekra mendapat kecaman dari masyarakat umum bahwa mereka bekrja sama dengan PKI untuk mengadu domba masyarakat Jawa dengan mengatasnamakan budaya.

Namun setelah penulis “Lekra Tidak Membakar Buku”, Muhidin M Dahlan melakukan riset sejarah pers ke perpustakaan nasional di salemba beliau tidak menemukan alasan mengapa LEKRA mendapat kecaman tersebut. Dari “Harian Rakyat” antara tahun 1950-1965 yang memuat berita tentang “LEKRA” tidk ditemui alasan-alasan mengapa “Lekra” disebut memiliki hubungan yang sangat intim dengan PKI.

Penulis berusaha memaparkan hal tersebut dalam bukunya. Beliau mengupas habis posisi LEKRA dan PKI pada tahun-tahun tersebut,namun tiba-tiba buku tersebut dibredel. Tanpa alasan yang jelas toko-toko buku mengembalikannya ke penulis (kebetulan penulis menerbitkan sendiri)

Tentu hal ini sangat mengherankan bagi kita semua. How could it be? Apa mungkin ada wacana yang “direkayasa” ketika Prabu Soeharto menjadi presiden?
Hanya Allah yang tahu.

2. Dosa Politik SBY – JK


Buku ini ditulis oleh seorang dosen fisip UI (maaf saya lupa nama Beliau). Dari judulnya kita pasti sudah menebak apa isinya. Pasti isinya tentang kepincangan-kepincangan yang terjadi selama perintahan SBY-JK. Salah satu yang menarik untuk saya bahas di sini adalah masalah korban lumpur lapindo. Meski ditutup-tutupi tapi saya dan anda semua pasti memiliki hati nurani. Menurut anda peristiwa lumpur lapindo terjadi karena kesalahan explorasi atau karena bencana alam. Hati kecil saya berkata,itu murni karena kesalahan explorasi. Dengan demikian pihak lapindo harus bertanggungjawab.
Namun mengapa wacana mengatakan bahwa itu adalah bencana alam sehingga ganti ruginya harus berasal dari APBN?
Total ganti rugi untuk rakyat sebesar 1,5 triliun tidak terpenuhi sampai sekarang,...padahal mereka telah menuntut selama tiga tahun...bandingkan dengan kasus century,ketika bank itu bermaslah maka saat itu juga dia ditalang dengan dana 6,7 triliun. Gila kan???.....lau siapa yang mau bertanggungjawab? Sby? Abdul Rizal Bakrie selaku pemilik saham terbesar di lapindo? Entahlah. Dimata saya ini adalah kejahatan korporasi yang bisa diaduhkan ke mahkama internasional.

3. Dalih Pembunhan Massal,G 30 September, Kudeta Soeharto.

Perhatikan baik-baik. Di belakang September tidak ada embel-embel PKI. Embel-embel itu konon ada setelah pemerintah orde baru melakukan berbagai macam rekayasa wacana. Gerakan 30 September memang ada,namun entah siapa yang menggerakkannya (belum tentu PKI). Jhon Rosse seorang pelajar S3 dari Kanada sekaligus pengarang buku tersebut memaparkan bahwa tidak ada data yang valid mengenai asal muasal PKI dan bagaimana mereka ternentuk,serta gerakan-gerakan yang mereka lakukan juga samar-samar. Pembunuhan massal hanya dijadikan dalih untuk menenggelamkan Soekarno sehingga Soehato terapung.
Buku ini mendapat penghargaan internasional. Setelah disunting ke dalam Bahasa Indonesia (Oleh Hilman Parid) buku tersebut ternyata bernasib malang,”ditarik dari peredaran”

Menurut Jhon Rosse hal tersebut telah melanggar konstitusi Indonesia yang konon ingin mencerdaskan kehidupan bangsa

Sabtu, 23 Januari 2010

22 Januari 2010


Rasanya hampa seperti padi berbulir hampa yang mungkin selamanya akan mendongak lalu dicibir. Aku capek dengan semua falsafah kehidupan yang rasanya seperti air dari sungai terbening di kaki gunung,yang sudah ditengguk orang-orang patuh dan bertelinga-tidak sepertiku. Aku meminta duniaku sendiri dan sang empunya kehidupan memberiku. Yaaa...tiada lagi yang mengekangku. Aku bisa menentukan kecepatan roketku. Tapi kenapa aku terus-terusan diam dan merenung dalam diniaku. Mengapa aku hanya terkagum-kagum oleh cerita buku yang sama sekali tidak mempengaruhi diriku?
Kadang aku berfikir...apa gunanya semua ini? Diam dan menrenung. Mengapa aku masih saja enggan keluar dari kamarku lalu memberi salam untuk semua orang. Mengapa aku masih saja ragu pada kebaikan dan ketulusan. Dan mengapa aku selalu menutup kesempatan mereka yang mau dekat denganku. Hehehe,,,memang diriku siapa? Kenapa aku sesombong ini? Mereka yang telah melesat saja tidak sesombong aku.
Diriku yang manis dan kusayangi,
Bertahun-tahun ternayata aku belum bisa menakhlukanmu. Keengganan dan kesombonganmu begitu kuat. Yang kuduga menjadi penghalang besar untuk menemukan tujuan besar dari keberadaanmu di dunia ini. Sembilan belas tahun dan menurutku hasilnya adalah nol.
Risuma...bukankah waktu itu adalah interval yang panjang. Bukankah kau pernah membayangkan bahwa seandainya kau mati di uasia 23 tahun apa yang akan terjadi? akankah semuanya menjadi sesuatu yang kau sebut-sebut absurd? Tidak ada yang mengenalmu,tidak ada yang terkesan padamu,dan tidak ada yang kau banggakan pda dirimu. Tidak ada alasan untuk membuat dadamu sedikit membusung. Kehidupanmu sama seperti meletusnya balon-balon sabun. Sia-sia. Mungkin semua orang hanya akan terkenang pada kebodohanmu atau kau terkesan sangat biasa. Tidak ada cerita hebat tentangmu. Menurutku itu adalah kehidupan yang sangat menyedihkan.

Well,
Sekarang kau menulis perjalanan panjang Sarwa Jemimah. Kau masih ragu tentang kemampuan menulismu? well well....hidup tanpa keraguan bukanlah hidup yang berseni. Daaan akan lebih berseni lagi kalau kau berhasil menyingkirkan keragu-raguan itu. hmmmm....Mari menyatakan sesuatu lalu mempercayainya setulus hati.
“Risuma...kamu bisa!”
Pernyaaan yang sangat biasa-biasa.
“Risuma...yakinlah kalau kau adalah penulis sejati”
Hmmmm.....masih belum sempurna. Sekarang katakan kalimat ini dengan lembut tapi tegas,
“Risuma...tahuka kamu,bahwa dari awal kamu ditakdirkan untuk menulis? Inilah alasan utama Tuhan menghadirkanmu di dunia ini. Menulislah sayang...menulislah...”

Aku melihat sebatang ketelah yang berdiri tegap. Daun-daunnya rimbun,dia tumbuh dengan gairah yang sempurna. Jika aku adalah pemilik ketelah itu berarti akulah yang memutuskan kapan aku menggali umbinya yang pikirku berukuran besar,berisi dan merambat menembur tanah setengah meter panjangnya. Itulah umbi tersembunyi namun bisa digali seperti talenta.

Kamis, 14 Januari 2010

Perjalanan 1:


Cerita ini hanya fiktif belaka yang 100% lahir dari isapan jempol saya. Kalaulah ada nama atau kejadian yang sama...itu hanya kenetulan semata :)

Satu

Namaku Sarwa. Hidupku indah,menurut takaran yang kutetapkan sendiri. Bukan karena aku seorang putri raja atau karena aku anak seorang pengusaha terkenal. Kurasa aku bukan orang yang kesepian karena aku punya teman yang lumayan jumlahnya. Oya ini tahun terakhirku di SMA. Dua bulan lagi aku lulus dari sebuah SMA dengan reputasi yang cukup terpandang di kotaku. Aku mulai mencari universitas yang menurutku ideal. Tetanggaku menyarankan agar aku masuk sebuah universitas swasta tapi aku ragu-ragu karenanya. Dimata Edward Wong,temanku yang suka ca cis cus tentang segala hal, universitas swasta yang tadi disebutkan tetanggaku terlalu introvert. Mereka memang mengasah mahasiswanya menjadi manusia-manusia dengan otak yang cemerlang. Tapi yang menyebalkan adalah universitas itu terlalu membuka peluang pada lembaga-lembaga asing yang memberi jaminan pendidikan pada mahasiswa-mahasiswa berprestasi dengan syarat ketika lulus nanti mahasiswa tersebut harus bekerja di negara lain. Parahnya mahasiswa yang dengan mulus meraih jaminan itu dengan bangga menkoar-koarkan keberhasilannya. Padahal dia adalah dara daging bangsa yang mengabdi untuk negara lain. Dia tidak sadar kalau negara telah kehilangan dia walau dia hanya seorang.

Aku mengenal si kacamata tebal itu,sadewo. Dia teman sekolahku. Reputasi yang dia telah peroleh selama ini membuat dia di kenal seantero sekolah. Pemenang olimpiade Fisika se-Tana Air. Seandainya aku berdiri tegak di depan seorang guru bersama Sadewo mungkin guru-guru akan bertanya,
“Ah...memang kalau diperhatikan Sarwa tidak bisa dibandingkan dengan Sadewo.”
Tapi sudalah,aku memang sudah terbiasa diremehkan oleh guru-guru. Aku memang tidak pintar di sekolah. Aku tidak suka belajar Matematik,Fisika, atau Kimia. Walau pelajaran yang serumpun dengan ini menarik ketika aku duduk di sekolah dasar seiring dengan konflik sosial yang terjadi di masyarakat menyita perhatianku. Seperti mengalami transeksual aku mengabaikan pelajaran-pelajaran yang sarat dengan hitung-hitungan. Aku lebih suka dengan masalah sosial. Itu menyita perhatianku lalu kuputuskan untuk melebur di dalamnya.

Sepekan lalu sebuah televisi swasta menyiarkan moment di mana presiden tana air menyerahkan piala pada juara Olympiade nasional. Dengan khidmat Sadewo menerima piala itu lalu Pak Presiden mengusap-usap kepalanya. Sadewo tersenyum dengan bangga. Sejanak kemudian Pak Presiden dengan penuh rasa dan asah dan setnegah berbisik lewat mic mengucapkan tiga kata,
“Inilah mutiara bangsa...”
Seperti sanjungan dari kepala sekolah untuk Sadewo malam ini. Malam ini adalah malam perpisahan setelah kami menjalani ujian terkhir di SMA. Istilah kerennya ,”Prom Nite.”
Saat itu aku dan Edward ditugaskan sebagai penerima tamu di gerbang sekolah. Gaun yang kupakai malam itu adalah gaun yang tidak bisa dikategorikan jelek. Ibuku membelinya di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu aku sedang melakukan kegiatan sosial di jalanan bersama temanku dan ibuku sedang berada di pusat perbelanjaan. Kata Ibu saat itu dia bertemu dengan Kania dan ibunya. Kania teman kelasku. Dia dan ibunya bertengkar di toko yang sama tempat ibuku membeli gaun. Ibunya ingin agar Kania dibelikan gaun di tempat itu saja tapi Kania menolaknya dengan tegas. Dia menyebutkan sebuah Butik yang terletak di seberang pusat perbelanjaan. Kania ingin ibunya membeli gaun di situ. Aku tahu butik itu adalah butik elit. Sehelai gaun bisa mencapai ratusan ribu rupiah bahkan jutaan. Kania terus berontak agar dia dan ibunya ke sana dan meninggalkan tempat itu sekarang juga. Dia menarik lengan ibunya. Dalam kondisi terjepit ibu Kania menyempatkan diri pamit pada ibuku. Saat mereka memunggungi Ibu, pandangan kasihan beliau mengikuti ibu Kania.

“Anak Ibu yang cantik,Ibu bangga padamu. Kamu tidak merepotkan sepeti Kania. Bahkan kamu tidak bilang kamu tidak suka pada gaun ini...”
“Ah,Ibu. Itu tidak penting!” tegasku.
“Aku pergi dulu,Bu!”
Kulihat sosok Kania datang. Dia duduk di sampingku karena aku dan dia mempunyai tugas yang sama. Sekilas dia memandang gaun yang aku pakai. Begitu juga sebaliknya. Aku memandang gaun mahal yang dia pakai tapi itu sama sekali tidak merubah dirinya. Dia tetap Kania yang ambisinya untuk menjadi idola tetap menyala-nyala akhirnya menjadi bahan cibiran dan gunjingan. Dia adalah korban kerlap-kerlip dan mimpi duniawi yang tidak pernah usai juga sangat memuakkan.
“Sar, kamu tahu? Sadewo akan segera meninggalkan Tana Air. Dia mendapat bea siswa dari luar negeri. Biaya hidupnya di jamin. Bahkan dia akan menempati sebuah apartemen di negara tujuannya itu. Semua biaya pendidikannya ditanggung oleh pemerintah di sana. Dia mendapat uang saku setiap bulan. Bahkan lagi setelah lulus dia tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan. Pekerjaan untuk orang seperti Sadewo sudah disipkan oleh pemerintah di sana,di negara tujuan Sadewo. Ya ampun....aku saja bekali-kali bermimpi bisa liburan atau sekedar menginjakkan kaki ke sana. Tapi aku tidak pernah mendapat kesempatan. Sedangkan Sadewo dalam sekejap mata bisa ke sana,bahkan menetap ke sana...”
Aku menoleh ke arah Kania dan berkata,
“Kania,seandainya seribu Sadewo yang ada di Tana Air tidak di culik seperti Sadewo kira-kira apa yang akan terjadi pada negara?” Edwar menyelah.
Kania mengerinyutkan dahi lalu melotot ke arah Edward.
“Diculik? Maksudmu apa?”
Edward melongos. Sepertinya mengurungkan niat niat untuk menjelaskannya lebih jau. Aku bisa mengerti ucapan Edward. Diskusi elit ini memang tidak cocok dibicarakan dengan Kania.
“Hei...maksud kamu apa mengatakan kalau Sadewo diculik? Kau sudah gila ya?”
Edward diam saja karena aku tidak ingin menghabiskan waktunya dengan Kania. Dia tidak paham maksud Edward dan kelihatannya dia malas menjelaskannya. Toh kalau akhirnya dia mengerti belum tentu dia mengakui kebenaran teori Edward,kuduga begitu. Paling dia menentangnya habis-habisan. Aku sendiri tidak mau menghabiskan banyak energi untuk orang seperti Kania. Kania terus mengatai Edward gila. Tapi Edwar masa bodoh, tidak perduli.
Inilah moment yang harus aku ceritakan malam ini. Acara pertama di gelar. Setelah sambutan dari ketua panitia kepala sekolah kami,
“Pada malam yang indah ini ada satu hal yang membuat saya bangga pada angkatan dua puluh. Banyak prestasi yang telah ditoreh selama kalian ada di sini. Mulai dari bidang seni,olahraga,bahkan ilmu pengetahuan. Terbukti pada tahun ini kita berhasil merebut piala Olympiade Fisika se-Tana Air. Hal itu membuat sekolah kita dikenaaaaaaal se-antero Tana Air. Maka pada malam ini rasanya tidak lengkap kalau saya tidak menyebut nama Sadewo mutiara bangsa kita. Sadewo,karena kepintarannya telah mendapat apa yang mungkin siswa lain idam-idamkan yaitu bea siswa luar negeri. Tidak hanya itu,pemerintah di negara tujuan telah memberi jaminan hidup pada Sadewo.....bla...bla...bla....”

Bagaimanapun bangganya kepala sekolah akan Sadewo itu tidak akan merubah rasa miris yang ada di hatiku dan juga Edward. Sadewo diculik!

Hari-hari berlalu. Teman-temanku sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Terutama urusan universitas yang akan mereka masuki. Tentu saja Sadewo telah hilang dari pandangan. Dia bak di telan bumi. Entah kapan aku bertemu lagi dengannya. Tapi aku tidak berharap banyak untuk itu. bertemu dengan orang jenius nan dungu. Yang mengejutkan bahwa Edward juga meninggalkan Tanah Air. Di emailnya dia memberi kabar kalau dia diterima di fakultas Hukum Utrecht,Belanda.
“Percaya Sarwa,pemerintah Belanda tidak akan menahanku kalau lulus nanti. Aku akan pulang dan melakukan apa yang baik untuk Tanah Air.” Aku mengangguk-angguk lalu mengucapkan satu kata.
“Bagus....”

Dan sekarang aku sedang menyusuri koridor kampusku sambil membawah berkas-berkas yang diperlukan. Dua minggu sebelumnya aku telah mengikuti tes di universitas negeri ternama di kota ini. Pesan elektronik yang masuk ke inbox ku memberi kabar yang membuat hatiku berbunga-bunga. Aku diterima di sebuah fakultas yang aku incar selama ini. Sepertinya keinginan untuk melebur dalam masalah-masalah sosial sudah kugenggam erat-erat. Aku akan belajar sungguh-sungguh. Aku akan membuat perbedaan. Seperti petikan puisi yang ada di dinding kamarku dan kubaca setiap hari,
“tumbuh mekarlah kebahagiaan.
Jayalah tindakan...
Maka agunglah keberhasilan”

Aku pikir saat ini aku telah berada di baris ke dua. Ketika aku membuka hati lapang kepada hal-hal yang aku sukai dan berkonsentrasi di situ aku berbahagia. Ketika aku bertindak kejayaan menghampiriku. Inilah yang membuat senyumku semakin melebar dan mataku semakin berbinar. Bagi beribu pasang mata kejadian ini sungguh terlalu biasa tapi buatku sebaliknya. Oh hidup betapa aku mencintai tujuan-tujuanmu yang di rancang bahkan sebelum kau ada.

Seorang petugas memriksa berkas-berkasku sekilas melakukan kontak mata denganku. Mungkin binar mataku terlalu sampai ia berkata,
“Kamu kelihatan bahagia sekali hari ini,Sarwa Jemima....”
Aku mengangguk dengan mantap sambil berkata,
“siapa yang tidak bahagia kalau dia diterima di universitas terpandang ini,Pak?”
Dia tersenyum geli mendengar penuturanku.
“Kenapa tidak memilih kedokteran atau tehnik?” tanyanya sambil memberi centang di berkas-berkasku kemudian menutupnya lalu menyerahkannya padaku.
“Mereka memang orang-orang hebat Pak,tapi saya terpanggil ke ilmu sosial. Saya menyukainya.”
Bapak tadi tersenyum sambil mengangguk-angguk lalu menepuk pundakku.
“Sukses ya?”
Aku mengulum senyumku lalu meninggalkan ruagan itu dengan langkah kaki yang ringan. Akhirnya hari itupun tiba. Daerah khtulistiwa yang memiliki dua musim itu sedang memasuki musim di mana jalanan selalu basah dan berlumpur. Tapi itu tidak menjadi penghalang bagiku. Bagiku musim hujan sekaligus semi karena bunga-bunga dengan leher lemah tengah bermekaran di jalan-jalan. Rumput selalu lembab sehingga kakiku selalu digerogoti biji-biji kecil yang kadang membuat kakiku gatal. Bulan ini adalah bulan ketika tanah di daerah tropis menyengat namun mendamaikan. Senja ini adalah hari ketika hari yang kumaksud akan dimulai besok. Aku menghabiskan waktuku untuk menikmati bau tanah dan tumbuhan di sebuah taman yang terpelihara cukup baik di kotaku. Hujan baru saja selesai. Bau tanah mulai naik. Aku mengenakan sandal jepit,celana pendek dan kaos oblong. Kata ibuku menikmati apa yang disediakan alam adalah cara terbaik untuk memujin-Nya. Walau seumur hidupmu kau tidak pernah bisa menyimpulkan Dia. Namun siapapun Dia,dialah gudang segala kebaikan dan kedamaian.
(bersambung...)

Rabu, 13 Januari 2010

Tentang Sarwa Jemimah

Sarwa Jemimah gadis berumur 19 tahun yang tinggal di sebuah kota antaberanta....Sarwa Jemimah tidak pernah ada. Dia hanya hidup dalam imajinasiku. Dia harus bertingkah dan bertutur sesukaku selaku pencipta tokoh Sarwa Jemimah

;;

Template by:
Free Blog Templates