Selasa, 12 Januari 2016

Melihat ratingnya yang bagus dan komentar yang nyaris tanpa kritik di Goodreads maka tanpa pikir panjang saya membeli titik nol di awal Januari 2016. Memoar perjalanan Agustinus Wibowo ini membuat saya menggeleng-gelengkan kepala. Seorang Mahasiswa jurusan universitas ternama di Negeri Tiongkok yang ketika lulus mendapat tawaran S2 ke Amerika dan justru menampik tawaran itu dan lebih memilih pelesiran ke tempat-tempat tak biasa. Medan konflik....zona merah....dan terlarang. Orangtua mana yang tak kecewa menerima kenyataan bahwa Agustinus kembali ke Surabaya dengan tidak membawa apa-apa selain cerita perjalanannya selama sepuluh tahun yang dia bacakan di samping ranjang ibunya yang meregang nyawa karena digerogoti kanker. Seolah menjadi dongeng pengantar tidur panjang Sang Ibu. Adik mana yang tak kesal melihat Si Abang membiarkan dirinya sendirian mengurus kedua orangtuanya yang sakit dan rumah yang disita bank untuk melunasi biaya pengobatan. Menurut Si Adik, Si Abang sudah bersenang-senang selama sepuluh tahun. Namun menurut si Abang menjadi pengembara sangatlah pelik. Dia harus berhadapan dengan kejamnya alam, polisi hingga taliban, dan melebur menjadi relawan gempa khasmir. Dia juga sering hidup dengan mie instan selama berhari-hari. Menyamarkan nama dan ras demi sebuah penerimaan. Diculik dan mengalami pelecehan seksual. Apa yang menyenangkan dengan semua itu? Namun satu hal....dia telah puas dengan pengalamannya itu. Menjadi Backpacker bukan hanya sekedar hobby bagi Agustinus namun pilihan hidup. Dia tak punya pekerjaan, investasi, atau asuransi. Sepuluh tahun hidupnya sungguh-sungguh bergantung pada nasib baik. Di jalanan Agustinus dan temannya Nona Lam Li kenyang akan pengalaman langka yang unik yang jarang dialami oleh orang lain. Dari daratan Tiongkok menuju Nepal, Himalaya, Tibet, Everest, Shangrila, Khatmandu, India, Pakistan, Afghanistan, Kirghistan dan negara-negara berakhiran Tan lainnya. Agustinus berdara Tionghoa. Namun identitas Indonesianya membuatnya diterima dimana-mana di Asia Tengah. Agustinus mengalami harmoni dengan para penduduk negara -Tan yang justru dihindari sehingga kadang-kadang dia merasa lebih disambut di negara-negara berkahiran Tan itu dibanding negara asalnya. Saat merambah bagian terkumuh India cerita Agustinus membuat saya bergidik. Singkatnya India tak seelok Bollywood dengan sosok-sosok perlentenya yang doyan tinggal di bangunan mewah ala aristokrat. Dan Nepal yang sarat dengan kata suci itu ternyata dipenuhi biksu-biksu mata duitan yang anti dengan pendatang asing. Namun Kashmir dan kesedihan yang mengguncangnya membuat saya jatuh cinta. Mengenai harmoni dalam duka serta kebersamaan yang paling paripurna dalam ketiadaan. Afghanistan ternyata menyisahkan harmoni seperti cerita Khaled Hosaini tentang Kabhul sebelum diguncang Soviet tahun 70-an. Agustinus dan pengembaraan ala Marcopolonya telah menyuguhkan cerita dari dalam labirin. Bukan cerita yang kita lihat dari layar kaca atau yang kita pandang dari ketinggian sekian ribu kaki. Ini cerita nyata dari musafir yang telah melewati labirin dan memakan asam-pahit yang ditemuinya di jalan. Sungguh sebuah memoar perjalanan yang menegangkan sekaligus melipur lara. Saat membacanya entah mengapa saya sering melirik dan mengusap titik hitam yang ada di jempol kaki saya. Waktu kecil Mama saya sering bilang jika besar nanti kamu akan pergi jauh dan melanglang buana kemana-mana. Semoga saja. Namun saya merasa terkalahkan. Agustinus lebih muda tiga tahun dari saya saat melakukan perjalanan pertamanya. Akankah saya punya waktu lagi untuk menjalani hal-hal yang demikian. Tak hanya waktu tapi juga keberanian. Tapi setidaknya petualangan-petualangan dalam buku ini menggugah saya untuk bertualang. Walau nantinya tak sespektakuler prestasi Agustinus Wibowo.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates